Halaman

Selasa, 17 Juli 2012

Sinopsis Novel Sastra II

Judul Buku: Kalau Tak Untung
Tahun Terbit: 1938
Pengarang: Selasih

Rasmani dan Masrul sejak kecil berteman akrab. Rasmani anak orang miskin, sedang Masrul anak orang berada. Tapi persahabatan mereka tidak teralang oleh perbedaan keadaan yang bersifat lahiriyah itu. Bersama-sama dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa raganya, rasa kasih antara kedua, kemudian menjadi rasa cinta, yang makin lama makin mendalam.

Masrul diangkat jadi juru tulis di Painan. Sebelum berangkat ia harus berjanji kepada orang tuanya supaya setelah dua tahun suka memulangi Aminah, calon istri pilihan ibunya, anak mamak Masrul. Perjanjian ini diterima oleh Masrul karena didesak dan ia tak dapat mengelak. Tapi sebagai balas janji Masrul meminta supaya Aminah diajari membaca dan menulis, supaya kelak kalau telah kawin tidak memalukan. Ibunya menyanggupi.

Sampai di Painan, Masrul minta langsung dengan perantaraan surat kepada Rasmani, yang kebetulan sudah diangkat pula jadi guru suka memberi pelajaran kepada Aminah.

Meskipun rasa hati berat memberi pelajaran kepada "saingan" dalam berebut cinta, tapi akhirnya Rasmani demi kemurnian cintanya terhadap Masrul, mau memenuhi keinginan kekasihnya.Atas keikhlasan Rasmani lah, Aminah kelak, mendapat kepandaian membaca dan menulis secukupnya.

Di Painan Masrul bertamu keluarga Guru kepala yang mempunyai gadis cantik dan terpelajar - pandai berbahasa Belanda dan lain-lain, calon istri dokter yang tidak jadi karena kemudian ketahuan terlalu bebas bergaul dengan anak sekolah Mulo. Rupanya dokter itu curiga. Muslina (nama gadis itu), di pakai umpan memancing Masrul dan berhasil. Meskipun Masrul berat kepada Rasmani tidak menolak tawaran gadis cantik dengan orang tua yang berada. Sebelum kawin Masrul minta pertimbangan Rasmani tentang perkawinannya, tapi meskipun Rasmani memberi bayangan mungkin tak akan berbahagia karena keadaan terlalu "berat sebelah" toh Masrul kawin juga. Kemudian ternyata setelah kawin ia benar-benar tidak berbahagia, istrinya terlalu tidak memberi kebebasan hingga bagi Masrul rumahnya itu tidak bedanya dengan neraka. Suami istri selalu bertengkar, selalu ribut, karena istrinya hanya mau menang sendiri, bersikap selalu merendahkan, karena segala keperluan rumah tangga sang mertualah yang menanggung dan ia merasa pula lebih terpelajar dari Masrul, toh dapat juga ia mendapat anak. Peristiwa-peristiwa yang tak menyenangkan ini selalu dikemukakan dalam surat-surat Masrul, kepada Rasmani, dan Rasmani kembali demi kecintaannya kepada Masrul, tidak membenarkan kalau Masrul hendak menceraikan istrinya hanya karena tidak mengecap kebahagiaan sebagai yang diharapkan semula. Sudah terlanjur kata Rasmani, akan lebih jelek di mata orang kalau ia menceraikan istri yang sudah mempunyai anak pula.

Masrul mula-mula bertahan, tapi sesekali keadaan memuncak dan rupanya tidak tertahankan lagi. Ia pulang setelah menceraikan istrinya, tapi sambil kehilangan pekerjaan, sehingga sekalipun kesempatan terbuka untuk melangsungkan niatnya memulangi Rasmani (Aminah sendiri sudah bersuami, jadi tidak ada lagi halangan yang memberatkan), tapi toh belum juga Masrul meminta Rasmani secara resmi kepada orang tuanya, dengan alasan belum dapat pekerjaan.

Rasmani sebenarnya merasa jengkel, tapi tentu tak baik kalau dari pihak dia yang mendesak, ia membiarkan diri "makan hati berulam jantung". Biarlah ia merana, asal Masrul berbahagia.

Suatu harapan tiba-tiba datang. Masrul meminta Raasmani,th Masrul menangguhkan dulu: ia akan mencari pekerjaan, yang tetap, di Medan, i tidak mai  mebawa istrinya kelak serba kekurangan. Tapi serelah sampai di Medan ia tak udah dapat ekerjaan, sampai setahun ia menganggur sehingga ia tak berani pulag, hanya mengirimkan surat mengetakan antara lain: kalau ada yang datang minta Rasmani, baik diterima saja, karena ia mendapat surat dari istrinya yang lama, supaya kembali. Alasan ini sebenarnya tidak benar, yangyangbenar sampai waktu itu. Masrul sia-sia mendapatpekerjaan yang agak baik (layak) untuk memulai berumah tangga. Masrul tidak mengira bahwa surat yang maksudnya baik itu, kelak akan membawa penyesalan yang tak kunjung putus. Karena seterimanya Rasmani surat Masrul, ia lalu jatuh sakit, yang tak dapat disembuhkan lagi. Ketika akhirnya Masrul dapat pekerjaan dengan upah Rp. 100 sebulan, suatu jumlah pada waktu itu cukup memberi harapan, sudah terlambat: -waktu Rasmani membaca surat Masrul yang memberi harapan itu, sakitnya sudah mendalam, Rasmani malah merasa sangat dikejutkan oleh perubahan yang tiba-tiba sakitnya makin parah, akhirnya meninggal.
Waktu Masrul pulang untuk menjemput sang kekasih, ia hanya menjumpai kuburnya. Ada peninggalannya yang hanya menambah pilu dan "sesal yang tak berkeputusan" (nama judul bagian buku tersebut kedua dari akhir) berupa sepucuk surat berbunyi:

Kakanda Masrul yang kucinta!
Gantang penuh, bilangan cukup. Adinda tidak dapat menanti lagi. Perjalanan adinda sampai ke batas. Badanku lemah, anggota letih, adinda tak dapat meneruskan perjalanan itu. Kalau kakanda membaca surat ini, adinda telah lama tidur, tidur untuk selama-lamanya. Bukanlah adinda mendahului Tuhan, melainkan perasaan itu telah datang benar pada adinda. Kakanda maafkan kalau ada kesalahan dan relakanlah jerih payah dan sekalian pemberian kakanda serta kasih sayang kakanda yang adinda terima dari kecil adinda. Akan hidup bersama kakanda akan membela kakanda, melayani kakanda, menolong dan meringankan beban kakanda mengurut memijid kakanda ketika sakit, menyandar ketika mati itulah cita-cita dan angan-angan adinda, akan ganti terima kasih adinda. Tetapi apakah dayaku karena Allah tak hendak menyampaikan maksud itu.
Sekarang kudoakan saja mudah-mudahan gadis yang lain akan pengganti adinda.
Kakanda... Adinda tak dapat menulis lagi.
                                                                                                                              Tinggallah... Selamat

                                                                                                                                              Mani